Sunday, March 29, 2009
Pada zaman dahulu hiduplah seorang raja dan menterinya. Walaupun raja itu kuat dan murah hati, dia memiliki watak yang sedikit keras. Sedangkan menterinya adalah seorang menteri yang arif bijaksana, sabar dan taqwa kepada Tuhan. Dalam urusan setiap hari, raja biasanya berpikir bahwa dirinyalah yang membuat segala sesuatunya terjadi, sedangkan sang menteri memahami bahwa segalanya adalah karunia Tuhan. Walaupun mempunyai perbedaan pendapat seperti ini, raja tetap menghargai menterinya dan mereka bersahabat akrab. Untuk melindungi warga negaranya dari serangan binatang berbahaya, raja dengan membawa busur dan anak panah sering berburu ke hutan bersama sekelompok kecil pasukan dan menterinya selalu menemani sang raja.
Pada suatu hari, ketika mereka pergi berburu, tiba-tiba seekor ular kobra besar menghadang kuda yang sedang ditunggangi oleh sang raja. Ular itu menyebarkan racun dari taring-taringnya. Kuda yang ketakutan kemudian meringkik sambil menaikkan kaki depannya sehingga membuat raja terjatuh di dekat ular kobra dan kobra itu segera menggigit jari telunjuk sang raja, kemudian ular itu pergi. Sang raja mengerti bahwa jika jari telunjuknya tidak segera dipotong, maka racun kobra akan menyebar ke seluruh tubuhnya dan akan sampai ke jantungnya dan akhirnya akan membunuh dirinya. Tanpa ragu sang raja mencabut pedangnya yang tajam dan segera memotong jari telunjuknya. Menterinya kemudian membalut tangan sang raja dan mencoba menenangkannya dengan kata-kata yang bijaksana, “terimalah hal ini hanya sebagai karunia Tuhan, terimalah sebagai salah satu dari rencana-Nya”. Sang raja kecewa dan tidak dapat menghargai pandangan menterinya. “Diam!”, sahut raja. Namun, menteri itu terus berbicara tentang karunia Tuhan sehingga raja menjadi sangat marah dan memberi perintah kepada prajuritnya. “Bawa kembali menteri yang bodoh ini ke kota dan penjarakan dia”. Kemudian dengan mantap sang raja melanjutkan acara berburunya hari itu. Walaupun dengan tangan terbalut, raja terus berburu sendirian mencari binatang buas di dalam hutan yang lebat.
Tidak lama kemudian sang raja yang sendirian ditangkap oleh segerombolan bandit. Mereka mengikat sang raja. Pimpinan bandit berkata kepada raja, “Ini hari mujurmu, aku akan mengorbankanmu kepada Devi Kali dalam pemujaanku. Tidak setiap hari beliau mendapatkan darah raja”. Akan tetapi sang raja menganggap dirinya sangat sial. Dengan kondisi terikat seperti itu dia tidak menemukan jalan selamat dari kematian berdarah di atas altar Devi Kali. Pimpinan bandit memerintahkan anak buahnya, “manusia yang akan kita persembahkan ini hendaknya dimandikan dengan bersih kemudian dibungkus dengan kain baru yang bersih”. Ketika bandit melaksanakan perintah itu, salah seorang diantaranya berteriak, “lihat, ada sebuah jarinya yang hilang”. Ketika memeriksa tangan sang raja, pimpinan bandit menjadi kecewa. “Kita tidak mungkin mempersembahkan manusia yang anggota bandannya tidak utuh kepada Devi Kali. Kalian bodoh! Bebaskan dia dan cari manusia lain”. Tanpa diduga raja dilepaskan dari ikatannya lalu menunggangi kidanya dan berlari cepat kembali ke kotanya.
Sesampainya di kota, sang raja langsung menuju penjara di mana menterinya ditahan dan memerintahkan agar menterinya dibebaskan. Kemudian raja memeluk menterinya dan meminta maaf, “atas karunia Tuhan aku telah kehilangan sebuah jari tanganku dan sebagai akibatnya aku lepas dari maut kematian”. Setelah menceritakan semua kejadian yang ia alami kepada menterinya, raja diam sejenak lalu berkata, “aku masih bingung, kalau segala sesuatu yang terjadi karena karunia Tuhan, bagimana tentang engkau yang dimasukkan ke dalam penjara?”. Menteri itu menjawab, “kalau anda tidak memenjarakan saya, saya pasti akan bersama anda ketika anda ditangkap, dengan melihat anggota bdan saya yang masih utuh pasti saya yang akan dikorbankan kepada Devi Kali oleh pemuja Kali itu”.
Akhirnya raja dan menteri itu tertawa lebar, air mata membasahi wajah mereka. Bahagia karena masih diberi kesempatan hidup. Mereka berdua setuju bahwa segala sesuatunya pastilah karunia dari Tuhan.
Oleh : I Ketut Lascarya, ST
Labels: agama, cerita rohani, Jari telunjuk, Naposo, NGKPA, Raja
0 comments:
Post a Comment